Sulteng,Chaneltimur.Com – Perampasan tanah ulayat suku Anak Dalam 113 di Batanghari, Jambi, oleh korporasi perkebunan dengan legalisasi oleh pemerintah kabupaten setempat, adalah satu dari sekian banyak contoh penindasan masyarakat adat di negeri ini. Penindasan yang telah terjadi sejak era kolonial hingga kini.
Di pulau sulawesi itu sendiri juga mengalami hal yang sama, seperti di lansir dari https://www.mongabay.co.id/ Ada lima komunitas masyarakat adat yang dimintai keterangan dalam inkuiri nasional. Tiga komunitas adat dari Sulawesi Selatan, yaitu masyarakat hukum adat Matteko, Desa Erelembang, Kecamatan Tombolopao, Kabupaten Gowa; masyarakat hukum adat Karunsi’e di Kampung Dongi, Desa Magani Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur; dan masyarakat hukum adat Barambang Katute, Desa Barambang, Kecamatan Bonto Katute, Kabupaten Sinjai. Sementara, dua dari komunitas adat di Sulawesi Tengah adalaah masyarakat adat Tau Taa Wana, Posangke, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali, dan masyarakat hukum adat Sedoa, Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso.
Sebelum menelaah lebih jauh mengenai masyarakat adat dan penindasan yang menderanya, sangat penting untuk diketahui definisi dari masyarakat adat. Istilah masyarakat adat muncul di Indonesia diawal dekade 1990-an setelah diskursus mengenai hak-hak hidup kaum adat mengemuka serta organisasi yang concern akan nasib masyarakat adat banyak bermunculan.
Pada bulan Maret 1999, Kongres Masyarakat Adat Nusantara I (KMAN I) telah menyepakati definisi dari masyarakat adat. Masyarakat adat merujuk pada definisi yang tertuang dalam Keputusan KMAN No.01/1999, yakni kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur dalam wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai, ekonomi, politik, budaya, sosial, ideologi serta wilayah sendiri.
Hari Masyarakat Adat Internasional atau International Day of the World’s Indigenous Peoples diperingati pada 9 Agustus setiap tahunnya. Tahun ini, Hari Masyarakat jatuh pada hari Senin, 9 Agustus 2021. Tema Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun ini adalah “Leaving No One Behind: Indigenous peoples and the call for a new social contract” atau Leaving No One Behind” (Masyarakat adat dan seruan untuk kontrak sosial baru). Seperti dilansir laman resmi Pemerintah Kota Semarang, perayaan Hari Masyarakat Adat diperingati sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 13 September 2007.
Pada level internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi julukan ‘indigenous peoples’ bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”. Sementara Konvensi ILO 169 tahun 1989 mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-negara Merdeka mendefinisikan masyarakat adat sebagai suku-suku bangsa yang berdomisili di negara merdeka yang kondisi sosial, budaya dan ekonominya berbeda dengan kelompok masyarakat lain.
Selain itu, ada definisi lainnya yang menarik dari Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas. Menurut beliau, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum invasi (kolonial) dengan masa sesudah invasi yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream. Bila merujuk pada pendapat Cobo tersebut, maka dapat diartikan bahwa masyarakat adat telah ada jauh sebelum era kolonial dimulai, bahkan sebelum negara-negara baru post-colonial berdiri.
Pasca kemerdekaan, khususnya era Orde Baru, perampasan hak ulayat berakar dari pemberlakuan Undang-undang (UU) No.5/1967 tentang Kehutanan. Dalam UU itu telah diatur penetapan kawasan hutan oleh negara (Departemen Kehutanan/Dephut). Mekanisme penetapan dan pengelolaan kawasan hutan secara teknis diatur lagi dalam aturan turunannya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No.33 tahun 1970 tentang Perencanaan Hutan.
Masalahnya, sebelum PP yang menjadi aturan turunan UU No5/1967 itu diterbitkan, pemerintah telah memberikan berbagai konsesi pengusahaan hutan terhadap para pemilik modal, terutama asing. Hal ini tak dapat dilepaskan dari konstelasi politik masa itu. Seiring dengan keberhasilannya menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan sokongan modal multinasional, rezim Orde Baru harus ‘membalas’ kebaikan para penyokongnya itu.
Masalah lain yang lebih mendasar adalah diberbagai kawasan hutan yang ditetapkan sebagai wilayah konsesi itu telah berdomisili masyarakat adat yang kebanyakan hidup sebagai peladang berpindah, seperti suku Sakai dan suku Anak Dalam di Sumatera dan berbagai rumpun suku Dayak di Kalimantan.
Berangkat dari keadaan dan sejarah singkat di atas, APRI SULTENG memandang, pemerintah Indonesia perlu mendukung dan segera mensahkan RUU Masyarakat Adat, sebagai bentuk keberadaan dan pengakuan Negara terhadap masyarakat Adat di kawasan ulayatnya.
“Disahkannya RUU Masyarakat Adat akan menjamin komunitas adat yang tersebar di nusantara untuk membangun resiliensi komunitasnya yang secara langsung menyumbang pada ketahanan Indonesia sebagai bangsa,” kata Ketua Wilayah APRI Sulteng, Agus Salim SH, Rabu (10/8/2021).
Dia mengatakan, masyarakat adat telah menunjukan ketahanan misal dalam bidang pangan yang patut dicontoh di tengah krisis akibat sebaran virus Covid-19 saat ini. Dia mengatakan, masyarakat adat berhasil terus memproduksi pangan, terutama pangan lokal guna memenuhi kebutuhan mereka. Lanjutnya
“Perlindungan dan pengakuan negara terhadap pemenuhan hak-hak Masyarakat Adat untuk secara bebas mengelola wilayah adat dan sumber-sumber produksinya menjadi kunci utama untuk memastikan krisis dapat dilalui dengan selamat,” Tutupnya.
Ketua FP2LS Firman juga angkat bicara; Pemerintah selama ini gagal dalam mengatasi isu konflik lahan yang berhubungan dengan penguasaan sumber daya alam dan telah menyudutkan petani yang hidup berdamping-dampingan dengan kawasan hutan adat
Sejak dibentuknya Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) sejak 2007 lalu, muncul ribuan konflik agraria yang tak terselesaikan dan berbuntut pada kekerasan terhadap petani dalam kawasan konservasi maupun ulayat.
Firman menggambarkan perampasan lahan di masa pemerintahan Presiden Jokowi sebanyak dua kali lipat ketika Danedels (Belanda) membangun infrastruktur jalan Anyer-Panarukan.
“Kami ingin Jokowi belajar dari kegagalan pemerintah sebelumnya. Kalo kita lihat salah satu program Jokowi yakni program pembangunan jalan sepanjang 2.000 km dan Reforma Agraria setidaknya dibutuhkan 4 juta hektar lahan dengan asumsi lebar jalan 20 meter, juga Redistribusi tanah yang sudah tidak berproduktif dan legalisasi aset / bagi-bagi sertifikasi ini sama saja land reform hanya sekedar wacana, dan akan memperpanjang ketimpangan kepemilikan tanah dan konflik agraria di desa-desa”
Lanjutnya; menyoal terkait hal tersebut, bahwa konflik agraria juga akan sedikit teratasi, jika Pengakuan Hak Ulayat menjadi fokus pemerintah, sebagai mana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”
Pengakuan hak ulayat juga terdapat pada Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Lalu, hak menguasai dari negara tersebut pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Demikian yang disebut dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (“UUPA”).
Jadi, inilah yang menjadi dasar bagi pengaturan tanah ulayat, yang harus menjadi pijakan Pemerintah dalam mendorong terbentuknya RUU Masyarakat Adat menjadi Undang-undang. Pungkasnya
Report: AMD