Luwu Utara, Chaneltimur.com – Sala satu Kader Himpunan Mahasiswa Kerukunan Luwu Utara (HIKMAH LUTRA) di duga di aniaya pada saat melakukan aksi demonstran di depan POLRES Luwu Utara, praktek tindak pidana penganiayaan itu, di duga di lakukan oleh oknum Kepolisian Polres luwu utara pada saat kader HIKMAH LUTRA melakukan aksi demo di depan Kantor POLRES Kabupaten Luwu Utara ( LUTRA). Selasa 20 mei 2025.
Adapun tuntutan aksi kami ialah:
1.evaluasi kinerja polres luwu utara
2.evaluasi kinerja pemda
3.memperjelas legalitas pertambangan
Namun naasnya dalam melakukan demonstrasi teman-teman mendapatkan tindakan refresif dan intimidasi yang di lakukan oleh oknum kepolisian.
UU Dasar 1954 pasal 28 E yaitu kebebasan menyampaikan aspirasi di muka umum, soal penyampaian di muka umum itu telah di ataur dalam UU, namun melihat tindakan intitut polri khususnya polres luwu utara memperlihatkan tindakan intimidasi dan refresiftas, namun dalam praktik pihak kepolisian luwu utara tidak mengamini UU tersebut.
Ketika polres luwu utara tidak menangkap pelaku penganiayaan maka esok hari tanggal 21 mei 2025 maka kami akan melakukan aksi demonstrasi dan membawa massa aksi lebih banyak
Ujar (wajenlab reski aldiansyah).
Kasat Intel Polres Luwu Utara membantah tudingan di atas. ” Bahwa kami ada dilapangan pak, tidak melihat adanya penganiayaan, yang ada hanya menghalau adik-adik yang lagi demo ke pinggir, karena peserta ditengah jalan dan akan melakukan pembakaran’ bakar ban ditengah Jalan Jalur Trans Sulawesi yang dapat menggangu aktifitas pengguna jalan lain.
Bakar ban Dalam Unjuk Rasa.
Dalam konteks unjuk rasa, tindakan Polri menghalangi massa demonstran untuk membakar ban di tengah jalan terutama jika jalan tersebut adalah jalan provinsi atau jalan umum lainnya bukan merupakan tindakan yang salah, dan justru merupakan bagian dari kewenangan serta tugas polisi dalam menjaga ketertiban umum.
Berikut dasar dan pertimbangannya:
1. Dasar Hukum.
UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 13 menyatakan tugas pokok Polri adalah:
a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
b. menegakkan hukum;
c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 6 menyatakan:
“Dalam menyampaikan pendapat di muka umum, setiap warga negara berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain, menjaga ketertiban umum, dan menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.”
Membakar ban di jalan umum berpotensi:
Mengganggu ketertiban lalu lintas.
Menimbulkan bahaya kebakaran.
Mencemari lingkungan (asap tebal, toksik).
Merugikan pengguna jalan lainnya.
2. Proporsionalitas dan Profesionalisme
Tindakan penghalangan pembakaran ban harus dilakukan secara profesional dan proporsional, misalnya:
Melalui imbauan persuasif lebih dulu.
Dibarengi dengan dialog dengan koordinator lapangan aksi.
Dilakukan dengan minimal kekerasan sesuai prinsip HAM dan Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan.
Kesimpulan:
Polri tidak salah jika menghalangi massa untuk membakar ban di jalan umum dalam demonstrasi, apalagi di jalan provinsi, selama dilakukan secara profesional dan sesuai prosedur. Tindakan tersebut sesuai dengan tugas konstitusional Polri untuk menjaga ketertiban umum dan keselamatan masyarakat secara luas
Membakar ban bukanlah suatu kewajiban dalam unjuk rasa, baik secara hukum maupun secara norma demokrasi. Pembakaran ban bukan merupakan bagian esensial dari hak menyampaikan pendapat di muka umum, dan tidak memiliki dasar legal sebagai elemen wajib dalam demonstrasi.
Penjelasan:
1. Tidak Ada Dasar Hukum
Dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tidak terdapat satu pun ketentuan yang:
Mengharuskan pembakaran ban sebagai bentuk ekspresi,
Mengakui pembakaran benda (termasuk ban) sebagai instrumen sah dalam unjuk rasa.
Yang diatur justru adalah kewajiban demonstran untuk menjaga ketertiban, keselamatan, dan menghormati hak orang lain.
2. Dalih “Membakar Semangat” Tidak Membenarkan Perusakan atau Gangguan Umum
Mengatakan pembakaran ban untuk “membakar semangat” adalah rasionalisasi yang tidak sejalan dengan prinsip aksi damai. Semangat dan militansi bisa diekspresikan melalui:
Orasi, Poster/spanduk,
Aksi teatrikal,
Nyanyian perjuangan, tanpa harus menimbulkan asap toksik, gangguan lalu lintas, atau ancaman keselamatan.
3. Konteks Lokal
Jika pembakaran ban sudah menjadi pola tetap dalam aksi mahasiswa, ini perlu dievaluasi secara normatif dan edukatif.
Mengajak mahasiswa untuk lebih kreatif dan konstruktif dalam menyampaikan pendapat.
Mendorong pihak kampus atau tokoh masyarakat melakukan edukasi hukum dan HAM.
Polri dan pemerintah daerah juga bisa memfasilitasi ruang dialog agar aspirasi bisa tersampaikan tanpa tindakan yang kontraproduktif.
Kesimpulan:
Tidak benar bahwa setiap aksi unjuk rasa oleh mahasiswa harus atau wajib membakar ban. Itu adalah praktik yang berkembang karena kebiasaan atau simbolisme lokal, namun bukan bagian dari hak menyampaikan pendapat yang sah secara hukum. Polisi berhak mencegahnya, dan mahasiswa perlu diarahkan untuk menggunakan cara-cara yang lebih aman dan bermartabat dalam menyampaikan aspirasi”.
ujar Kasat Intel polres Utara. (*)