DARI HGU KE HPL, SKEMA HALUS, AKAL BULUS PENGHANCURAN TANAH ADAT SEKO

oleh -202 membaca
oleh

Opini:
Luwu Utara, Chaneltimur.com Dirga Amrullah aktifis muda ‘Seko,
sejak awal penetapan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Bank Tanah di wilayah adat Kecamatan Seko, masyarakat setempat terkejut dengan luas 4.161 hektare untuk HPL dan 19.557 hektare yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah Luwu Utara serta institusi lainnya, keputusan ini dianggap mengejutkan dan tidak adil.

Masyarakat Seko selama ini percaya bahwa setelah kontrak PT. Seko Fajar Plantation berakhir pada 16 Agustus 2020, tanah tersebut akan kembali kepada mereka , sebagai pemilik sah berdasarkan warisan leluhur. Namun, tanpa adanya musyawarah dengan masyarakat, lembaga hasil turunan Undang-Undang Omnibus Law ini lebih dulu mengklaim lokasi eks-HGU yang sebagian besar adalah lahan pertanian masyarakat.

Respon penolakan pun bermunculan di kalangan masyarakat Seko. Mereka melihat ini sebagai bentuk perampasan tanah yang dikemas dalam kebijakan resmi. Namun, praktik yang terjadi justru menunjukkan ketimpangan dalam pengelolaan pemerintahan daerah.

Situasi ini mengingatkan mereka pada awal masuknya PT. Seko Fajar Plantation, di mana tidak ada pemberitahuan atau persetujuan dari masyarakat sebelum perusahaan itu beroperasi. Sekali lagi, masyarakat merasa dikhianati oleh kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan mereka sebagai pemilik wilayah adat.

Di sinilah konflik norma terjadi, antara legalitas formal dan kebenaran hakiki. Bagi masyarakat adat Seko, tanpa adanya sertifikat pun, tanah tersebut tetap merupakan milik mereka, karena diwarisi turun-temurun dari para leluhur.

Prinsip keadilan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seharusnya memastikan bahwa hak masyarakat adat dihormati , sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.

Oleh karena itu, perubahan status tanah dari eks-HGU PT. Seko Fajar Plantation menjadi HPL Badan Bank Tanah dianggap cacat hukum. Pemerintah seharusnya tidak bisa mengambil tanah adat hanya berdasarkan keputusan administratif tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat yang telah lebih dulu tinggal dan mengelola lahan tersebut.

Jika pengelolaan yang telah berlangsung lama tiba-tiba diklaim tanpa adanya musyawarah, maka ini jelas bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip negara hukum yang melindungi hak rakyat.

“Saya sangat terkejut saat mengetahui bahwa lahan perkebunan saya tidak dapat disertifikatkan karena telah masuk dalam HPL Bank Tanah. Ini sungguh tidak adil,” ungkap salah seorang warga yang sempat dikonfirmasi.

Mayoritas masyarakat Seko menolak keberadaan Badan Bank Tanah dan berharap Pemerintah Daerah Luwu Utara segera mengajukan surat rekomendasi kepada Presiden serta Kementerian ATR/BPN untuk meninjau ulang keputusan ini. Langkah ini diperlukan sebagai tindak lanjut atas UU No. 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Berpendapat.
Selain itu, masyarakat memiliki dasar hukum yang kuat dalam penolakan ini, seperti Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati hak masyarakat adat, UU No. 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang menegaskan prinsip kepemilikan tanah yang adil, serta UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melindungi hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka. Bahkan, beberapa konvensi internasional juga memperkuat perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat.

Negara yang menjunjung keadilan sosial seharusnya menempatkan rakyat sebagai subjek utama dalam kebijakan agraria. Tidak boleh ada kebijakan sepihak yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat yang telah mengelola tanah mereka selama bertahun-tahun. Oleh karena itu, kehadiran Badan Bank Tanah di Kecamatan Seko harus ditinjau ulang agar tidak mencederai nilai-nilai keadilan dan persatuan yang menjadi fondasi utama NKRI. ‘By Dirga Amrullah”.