Luwu Timur, Chaneltimur.com – Menjadi wartawan itu bukan sekadar kerja. Ini profesi. Bahkan, kadang lebih dari itu, semacam jalan hidup. Atau malah kutukan yang manis.
Saya tidak sedang membela teman-teman wartawan yang dulunya profesi ini juga pernah saya geluti . Saya hanya ingin mengatakan bahwa wartawan itu bukan tukang catat dan tukang rekam. Juga bukan tukang Foto. Bukan sekadar orang yang datang ke lokasi, ambil foto, pulang, tulis. Wartawan yang betul-betul wartawan , adalah orang yang hidup dengan rasa ingin tahu yang tak pernah padam. Orang yang tak bisa tidur kalau tahu ada sesuatu yang disembunyikan dari publik.
Wartawan itu… mirip detektif. Tapi tak dibayar sebesar detektif. Tak dihormati seperti penegak hukum. Bahkan kadang dimaki lebih keras dari maling. Apalagi kalau tulisannya dianggap menyudutkan.
Dulu, bahkan sampai sekarang, Saya sering mendengar orang bilang jadi wartawan enak ya, kerjaannya cuma nanya-nanya lalu nulis. Cuma ? Padahal dari satu kalimat yang ditulis, bisa ada dua minggu riset. Bisa ada tiga malam tak tidur. Bisa ada lima kali didatangi aparat. Bisa ada enam kali disidang oleh Pemred atau redakturnya sendiri. Dan masih juga dimaki di kolom komentar.
Profesi wartawan memang tidak butuh seragam. Tidak butuh pangkat. Tapi ia butuh hati yang bersih dan punggung yang tebal. Karena setiap tulisan yang benar, selalu ada yang sakit hati. Dan setiap tulisan yang salah, bisa jadi menghancurkan nama baik orang lain.
Tentu tidak semua wartawan idealis. Di mana-mana ada juga wartawan yang terlalu gampang menerima “hadiah” Itu fakta. Tapi yang seperti itu bukan profesi. Itu dagang nama. Dan biasanya cepat hilang dari peredaran.
Wartawan yang sejati justru tidak bisa pensiun. Badannya pensiun, iya. Tapi pikirannya tetap seperti sedang rapat redaksi setiap pagi. Ada peristiwa sedikit saja, langsung tergelitik “Ini harus ditulis.” Padahal tak ada lagi media yang menampung. Tapi insting itu tetap hidup.
Saya kenal beberapa teman wartawan tua bahkan kami punya group WA yang sudah tak lagi turun lapangan seperti dulu. Tapi begitu Anda ngobrol lima menit, Anda akan tahu : dia masih wartawan. Logikanya jernih. Sudut pandangnya tajam. Dan ia tahu bagaimana sebuah fakta bisa berubah makna hanya karena satu kata.
Sekarang zamannya digital. Semua orang bisa jadi “wartawan.” Cukup punya akun medsos. Cukup ketik 280 karakter. Langsung viral. Tapi bedanya adalah wartawan sungguhan tetap punya proses, verifikasi, cek silang, cover both side. Sedangkan medsos ? Asal duluan. Soal benar-salah, belakangan.
Itulah sebabnya wartawan justru makin penting sekarang. Di tengah kabut hoaks, kita butuh kompas. Dan itu tugas wartawan. Menjadi penjernih. Bukan ikut memperkeruh.
Saya ingin menegaskan, Profesi ini memang penuh luka. Gaji kecil, tekanan besar. Ancaman sering datang lebih cepat daripada THR. Tapi anehnya, profesi ini tak pernah sepi peminat. Karena selalu ada orang-orang yang percaya bahwa menulis kebenaran meski pahit tetap lebih mulia daripada diam dalam kenyamanan.
Jadi kalau Anda bertanya, apakah wartawan itu pekerjaan? Ya, bisa saja. Tapi kalau Anda bertanya, apakah ini sekadar pekerjaan ? Tidak. Ini profesi. Dan kadang, ini panggilan jiwa.
@yul.lutim
#camattomonitimur
#pernahjadiwartawan
#freelance