Kabag Kesra Lutim Tegaskan, Penerima Upah Petugas Keagamaan Tidak Boleh ASN, TNI/Polri, atau Aparat Desa

oleh -5 membaca
oleh

Luwu Timur, Chaneltimur.com Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Daerah Kabupaten Luwu Timur, Raoda, S.Pd, menegaskan bahwa penerima upah kerja bagi petugas keagamaan tidak boleh berasal dari kalangan ASN, TNI/Polri, maupun aparat desa. Ketentuan ini menjadi salah satu poin penting dalam Peraturan Bupati (Perbup) Luwu Timur Nomor 30 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Penatausahaan Pemberian Upah Kerja kepada Petugas Keagamaan.

Pernyataan tersebut disampaikan Raoda dalam kegiatan sosialisasi Perbup Nomor 30 Tahun 2025, yang digelar di Aula Kantor Camat Tomoni Timur, Selasa (14/10). Kegiatan yang dibuka oleh Camat Tomoni Timur ini dihadiri oleh para penerima manfaat, unsur pemerintah desa, serta kepala seksi pemerintahan desa dari beberapa wilayah di Tomoni Timur.

Dalam arahannya, Camat Tomoni Timur, Yulius, menyampaikan bahwa petugas keagamaan memegang peran penting dalam membina kehidupan spiritual masyarakat. “Pemerintah daerah menilai pelayanan keagamaan sebagai bagian dari pembangunan sosial dan spiritual masyarakat. Karena itu, penghargaan kepada petugas keagamaan perlu diatur secara jelas melalui Peraturan Bupati,” ujarnya.

” Intinya kita berharap dalam sosialisasi ini kita menyamakan persepsi mengenai kriteria penerima upah kerja bagi petugas keagamaan sesuai yang diatur dalam pasal-pasal Perbup ini, sehingga setelah Sosialisasi ini tidak ada lagi pertanyaan yang muncul ” jelas Camat lagi

Sementara itu, Raoda menjelaskan bahwa penerbitan Perbup ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan transparansi dalam pengelolaan upah kerja bagi petugas keagamaan lintas agama di seluruh desa dan kelurahan di Luwu Timur.

Beberapa pasal penting dalam Perbup ini mengatur kriteria penerima upah kerja, antara lain bagi imam masjid, guru mengaji, guru sekolah minggu, guru pasraman, dan pandita Hindu.
Secara umum, kriteria penerima meliputi:

Penduduk daerah yang dibuktikan dengan KTP dan Kartu Keluarga; Bukan ASN, TNI, Polri, atau perangkat desa, dibuktikan dengan surat keterangan dari kepala desa atau lurah; Aktif menjalankan pelayanan keagamaan dan terdaftar secara resmi di lembaga keagamaan terkait.

Khusus bagi pendeta, diatur bahwa gereja dengan lebih dari satu pendeta harus memiliki minimal 150 kepala keluarga jemaat. Bila dalam satu keluarga terdapat lebih dari satu pendeta, maka upah kerja hanya diberikan kepada satu orang dalam satu KK.

Raoda berharap, regulasi ini dapat memastikan pemberian insentif berjalan transparan, akuntabel, dan tepat sasaran.
“Semoga kebijakan ini menjadi bentuk nyata perhatian pemerintah terhadap mereka yang telah memberikan pelayanan spiritual bagi masyarakat,” pungkasnya. (Red)