Kelima ranperda itu yakni ranperda rencana induk kepariwisataan Kabupaten Luwu Timur, Perubahan atas Perda Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan. Ranperda tentang penambahan penyertaan modal Pemerintah daerah kepada PT. Bank Sulselbar, kemudian ranperda pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, terakhir ranperda tentang perubahan atas Perda Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhan.
Lanjut Jayadi, terkait Ranperda Rencanan Induk Pariwisata, Pemerintah daerah telah menginventarisir sebanyak 37 obyek wisata, namun yang sudah dikembangkan dan di tata oleh Pemerintah daerah sebanyak 10 obyek wisata yakni Goa Batu Putih Burau, Pantai Lemo Burau, Pantai Ujung Suso Burau, Banua Pangka Wotu, Andi Nyiwi Park Malili, Landmark Luwu Timur Malili, Mata Buntu Wasuponda, Pantai Siuone Towuti, Bura-Bura Matano Nuha dan Uelanti Mangkutana.
Dalam hal Penetapan tarif Retribusi Kapal Penyebrangan, Jayadi mengatakan, agar disesuaikan dengan aturan/regulasi yang lebih tinggi dan tidak memberatkan masyarakat. Perubahan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2015 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, Hal ini dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dimana dalam Pasal 9 ayat (1) Peraturan Daerah Kabupaten Luwu Timur Nomor 1 Tahun 2015 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, menyatakan bahwa besaran tarif retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali dan disesuaikan dengan kondisi dan perkembangan perekonomian saat ini.
Terkait dengan mekanisme penyertaan modal Pemerintah Daerah kepada PT. Bank Sulselbar sebesar Rp. 30.000.000.000, kata Jayadi, hal ini dilakukan secara bertahap yang disesuaikan dengan ruang fiskal Daerah yang memadai. Mengenai penyedian dana hal ini tidak mengganggu kegiatan Pemerintah Daerah, justru dengan adanya hasil dari penyertaan modal dapat digunakan untuk membiayai kegiatan APBD.
Sesuai amanat Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dalam melakukan PPMHA Pemerintah Daerah tidak melaksanakannya sendiri, melainkan Bupati akan membentuk Panitia MHA Kabupaten dimana keterlibatan instansi vertikal yang sesuai dengan karakteristik MHA, unsur akademisi, pakar hukum, LSM atau NGO maupun unsur lainnya, juga akan terakomodir dalam kepanitiaan tersebut.
Ranperda ini dipandang sangat urgen dan akan menjadi instrumen hukum yang sangat penting di Luwu Timur, mengingat secara faktual keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Luwu Timur telah diakui dan diapresiasi keberadaannya, tetapi secara formal belum ada aturan mengenai pengakuan dan perlindungan terhadapnya. Disamping itu, tahapan PPMHA yang terdiri atas identifikasi, verifikasi, dan validasi juga dipandang sangat efektif yang pada gilirannya diyakini akan mampu menyelesaikan konflik agrarian dan konflik sosial.
“Semoga apa yang kami sampaikan ini dapat berkenan dan bilamana masih terdapat hal-hal yang secara teknis dan terperinci akan dijelaskan lebih lanjut pada sesi pembahasan selanjutnya,” tutup Jayadi. (hms/ikp/kominfo)