BUMDes dan Ketahanan Pangan : Antara Harapan dan Tantangan di Ujung Jalan

oleh -9 membaca
oleh

Oleh : Yulius, Camat Tomoni Timur, mantan wartawan

Luwu Timur, Chaneltimur.com Di tengah hiruk-pikuk wacana ketahanan pangan, desa-desa di Indonesia termasuk di Kecamatan Tomoni Timur Kabupaten Luwu Timur menghadapi persimpangan besar. Mereka tidak bisa hanya menjadi penonton, melainkan harus mengambil peran aktif dalam membangun ketahanan pangan yang berkelanjutan. Keputusan Menteri Desa Nomor 3 Tahun 2025 yang mengamanatkan alokasi 20% dana desa untuk ketahanan pangan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) menjadi angin segar. Namun, seperti halnya angin, ia bisa membawa kesejukan atau berubah menjadi badai jika tidak dikelola dengan bijaksana.
keputusan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 3 Tahun 2025 diterbitkan sebagai pedoman dalam penggunaan Dana Desa untuk ketahanan pangan. Keputusan ini berlandaskan pada Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur fokus penggunaan Dana Desa tahun 2025.
Dalam regulasi tersebut, ditetapkan bahwa ; Minimal 20% dari Dana Desa harus dialokasikan untuk program ketahanan pangan. Pelaksanaan program harus melibatkan BUM Desa, BUM Desa bersama, atau kelembagaan ekonomi masyarakat di desa. Tujuan utama adalah mewujudkan swasembada pangan, mengurangi ketergantungan pada impor, serta meningkatkan ekonomi desa.
Berdasarkan data Indeks Desa untuk Swasembada Pangan, sebanyak 77,01% atau 57.959 desa dari 75.259 desa penerima Dana Desa Tahun 2024 belum mencapai swasembada pangan.
Akses masyarakat terhadap pangan masih rendah, dan beberapa faktor seperti isu politik global, bencana alam, serta perubahan iklim memperparah kondisi dengan meningkatkan risiko gagal panen.
Presiden RI dalam Asta Cita menetapkan swasembada pangan sebagai bagian dari kemandirian bangsa, bersama dengan swasembada energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Kementerian Desa bertanggung jawab dalam percepatan pembangunan desa, termasuk memastikan pembangunan ekonomi dan investasi desa berjalan optimal dalam mendukung ketahanan pangan.
Sebagai garda terdepan, BUMDes menghadapi tantangan yang tidak ringan. Dana yang digelontorkan bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan tanggung jawab besar yang harus dikonversi menjadi kesejahteraan nyata bagi masyarakat desa. Pertanyaannya, mampukah BUMDes mengemban amanah ini ?
Di satu sisi, BUMDes merupakan harapan bagi desa. Mereka diharapkan menjadi motor penggerak ekonomi lokal, mengolah sumber daya desa secara optimal, serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga. Namun, di sisi lain, berbagai kendala masih membayangi. Manajemen yang belum matang, keterbatasan sumber daya manusia, dan infrastruktur yang belum memadai menjadi tantangan yang tidak bisa diabaikan.

Keputusan alokasi dana desa untuk ketahanan pangan menuntut BUMDes untuk bergerak lebih cepat dan lebih cerdas. Dana tersebut harus diwujudkan dalam program konkret seperti pembangunan lumbung pangan, pertanian organik, hingga pengembangan industri berbasis komoditas lokal. Namun, keberhasilan program ini sangat bergantung pada fondasi yang kuat. Jika tata kelola BUMDes masih lemah, maka program yang dijalankan pun berisiko gagal.

Ironinya, dana desa yang sejatinya menjadi berkah bisa berbalik menjadi bumerang jika tidak dikelola secara transparan dan akuntabel. Penyalahgunaan anggaran, korupsi, hingga ketidakmampuan dalam manajemen risiko dapat menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan BUMDes. Alih-alih memajukan desa, kondisi ini justru bisa menjerumuskan desa ke dalam permasalahan baru yang lebih kompleks.

Meski demikian, di tengah tantangan yang ada, harapan tetap bersinar. BUMDes memiliki keunggulan unik dibandingkan lembaga lain, yaitu kedekatan dengan masyarakat. Mereka memahami kebutuhan riil warga, mengerti pola kehidupan di desa, serta memiliki potensi besar untuk menjadi solusi bagi persoalan ketahanan pangan. Dengan pendampingan yang tepat dan peningkatan kapasitas yang berkelanjutan, BUMDes dapat bertransformasi menjadi kekuatan utama dalam menciptakan desa yang mandiri pangan.

Keputusan Menteri Desa ini bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan ujian bagi BUMDes dan pemerintah desa. Ujian untuk membuktikan bahwa mereka mampu mengelola dana secara efektif dan transparan demi kemaslahatan bersama. Ujian untuk memastikan bahwa dana yang dialokasikan tidak sekadar habis tanpa hasil, tetapi benar-benar memberikan dampak nyata bagi masyarakat.

Pada akhirnya, tantangan ini adalah tentang keberanian. Keberanian untuk mencoba, untuk belajar dari kesalahan, dan untuk bangkit ketika menghadapi kegagalan. Seperti pepatah lama yang mengatakan bahwa desa adalah akar dari sebuah bangsa—jika akar itu kuat, maka pohonnya akan tumbuh kokoh; tetapi jika rapuh, maka pohon itu akan mudah tumbang.

BUMDes, dengan segala keterbatasannya, adalah harapan terakhir bagi desa dalam mengelola ketahanan pangan. Mereka adalah penjaga yang harus memastikan bahwa dana desa tidak sia-sia, tetapi bertransformasi menjadi sawah yang subur, ikan yang berkembang di kolam, serta senyum petani yang bangga dengan panen yang melimpah.

Maka, mari kita percaya dan berjuang bersama. Bahwa tantangan ini bukanlah akhir, melainkan awal dari cerita baru. Cerita tentang desa yang kuat, pangan yang cukup, dan masyarakat yang sejahtera. Sebuah kisah yang meskipun penuh rintangan, tetap layak untuk diperjuangkan. Hidup BUMDes……Jaya BUMDes.. (#)